SEJARAH PAPUA NUGINI
Papua Nugini atau Papua Guinea Baru adalah sebuah
negara yang terletak di bagian timur Pulau Papua dan berbatasan darat dengan
Provinsi Papua (Indonesia) di sebelah barat. Benua Australia di sebelah selatan
dan negara-negara Oseania berbatasan di sebelah selatan, timur, dan utara. Ibu
kotanya, dan salah satu kota terbesarnya, adalah Port Moresby. Papua Nugini
adalah salah satu negara yang paling bhinneka di Bumi, dengan lebih dari 850
bahasa lokal asli dan sekurang-kurangnya sama banyaknya dengan
komunitas-komunitas kecil yang dimiliki, dengan populasi yang tidak lebih dari
6 juta jiwa. Papua Nugini juga salah satu negara yang paling luas wilayah
perkampungannya, dengan hanya 18% penduduknya menetap di pusat-pusat
perkotaan.Negara ini adalah salah satu negara yang paling sedikit dijelajahi,
secara budaya maupun geografis, dan banyak jenis tumbuhan dan binatang yang
belum ditemukan diduga ada di pedalaman Papua Nugini.
Sebagian
besar penduduk menetap di dalam masyarakat tradisional dan menjalankan sistem
pertanian sederhana yang hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Masyarakat dan marga ini memiliki beberapa pengakuan tersirat di dalam kerangka
undang-undang dasar negara Papua Nugini. Undang-Undang Dasar Papua Nugini
(Pembukaan 5(4)) menyatakan harapan bagi kampung dan komunitas tradisional
untuk tetap menjadi satuan kemasyarakatan yang lestari di Papua Nugini,[5] dan
untuk langkah-langkah aktif yang diambil untuk melestarikannya. Dewan
Perwakilan Rakyat Papua Nugini telah memberlakukan beberapa undang-undang di
mana sejenis "Tanah ulayat" diakui, artinya bahwa tanah-tanah
tradisional pribumi memiliki beberapa landasan hukum untuk memproteksi diri
dari campur tangan kaum pendatang yang bertindak berlebihan. Tanah ulayat ini
disebutkan melingkupi sebagian besar tanah yang dapat digunakan di negara ini
(sekitar 97% seluruh daratan);[6] tanah yang dapat diolah oleh kaum pendatang
bisa saja berupa milik perseorangan di bawah syarat pinjaman dari negara atau
tanah milik pemerintah.
Geografi negara Papua
Nugini beragam dan di beberapa tempat sangat kasar. Sebuah barisan pegunungan
memanjang di Pulau Papua, membentuk daerah dataran tinggi yang padat penduduk.
Hutan hujan yang padat dapat ditemukan di dataran rendah dan daerah pantai.
Rupa bumi yang sedemikian telah membuatnya menjadi sulit bagi pemerintah untuk
mengembangkan infrastruktur transportasi. Di beberapa daerah, pesawat terbang
adalah satu-satunya modus transportasi. Setelah diperintah oleh tiga kekuatan
asing sejak 1884, Papua Nugini merdeka dari Australia pada tahun 1975. Kini
Papua Nugini masih menjadi bagian dari dunia persemakmuran. Banyak penduduk
hidup dalam kemiskinan yang cukup buruk, sekitar sepertiga dari penduduk hidup
dengan kurang dari US$ 1,25 per hari.
Penduduk Asli Bangsa Papua Nugini
Para penjelajah Eropa yang pertama kali datang ke
Papua, menyebut penduduk setempat sebagai orang Melanesia. Asal kata Melanesia
berasal dari kata Yunani, ‘Mela’ yang artinya ‘hitam’, karena kulit mereka
berwarna gelap. Kemudian bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan juga bangsa
Portugis yang berinteraksi secara dekat dengan penduduk Papua, menyebut mereka
sebagai orang Papua.
Manusia yang menetap di Papua Nugini
diduga dimulai sejak 50.000 tahun yang lalu. Penduduk kuno ini mungkin berasal
dari Asia Tenggara, sementara mereka yang berasal dari Afrika telah hadir sejak
50.000 hingga 70.000 tahun yang lalu. Pulau Papua adalah salah satu benua
pertama setelah Afrika dan Eurasia yang dihuni oleh manusia modern, dengan
migrasi pertama pada waktu kurang lebih sama dengan yang di Australia.
Pertanian dikembangkan secara mandiri di dataran tinggi Pulau Papua sekitar
7.000 SM, membuatnya menjadi salah satu dari sedikit daerah domestikasi tanaman
asli di dunia. Migrasi utama penutur bahasa Austronesia datang ke daerah pantai
sekitar 2.500 tahun yang lalu, dan ini berkorelasi dengan pengenalan tembikar,
babi, dan teknik-teknik memancing tertentu.
Sekitar
300 tahun yang lalu, ubi jalar masuk Pulau Papua, yang telah diperkenalkan ke
Maluku dari Amerika Selatan oleh kekuasaan kolonial dominan lokal, Portugal.
Panen ubi jalar yang meningkat telah mentransformasi pertanian tradisional
secara radikal; ubi jalar menggantikan sebagian besar bahan pokok sebelumnya,
talas, dan memberikan peningkatan yang signifikan pada populasi di dataran
tinggi.
Penjajahan
dan Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua Nugini
Orang Barat hanya sedikit mengetahui pulau ini
hingga abad ke-19, meskipun para saudagar dari Asia Tenggara telah mengunjungi
Pulau Papua sejak 5.000 tahun lalu untuk mengoleksi bulu dan rambut
Cendrawasih, dan para penjelajah berkebangsaan Spanyol dan Portugis telah
menemukannya pada abad ke-16 (tahun 1526 dan 1527 oleh Jorge de Menezes). Nama
negara ini yang memberi kesan ganda dihasilkan dari sejarah administratifnya
yang kompleks sebelum kemerdekaan. Kata papua diturunkan dari pepuah kata dari
bahasa Melayu yang menggambarkan rambut orang Melanesia yang keriting, dan
"New Guinea" (Nueva Guinea) adalah nama yang digulirkan oleh
penjelajah dari Imperium Spanyol, Yñigo Ortiz de Retez, yang pada tahun 1545
mencatat kemiripan orang-orang Papua dibandingkan dengan orang-orang yang
pernah dilihatnya di sepanjang pesisir Guinea, Afrika.
Bagian
utara negara ini dikuasai Jerman pada tahun 1884 sebagai Nugini Jerman. Selama
Perang Dunia I, wilayah itu diduduki Australia, yang telah mulai memerintah
Nugini Britania, yaitu bagian Selatan, dengan mengembalikan nama semulanya
menjadi Papua pada tahun 1904. Setelah Perang Dunia I, Australia diberi mandat
untuk memerintah bekas Nugini Jerman oleh Liga Bangsa-Bangsa. Sebaliknya, Papua
dianggap sebagai Wilayah Eksternal Persemakmuran Australia, meskipun secara hukum
masih milik Britania, sebuah isu yang penting bagi sistem hukum negara itu
pasca-kemerdekaan 1975. Perbedaan dalam status hukum memberikan arti bahwa
Papua dan New Guinea memiliki pemerintah yang sepenuhnya terpisah, yang
kedua-duanya dikendalikan oleh Australia.
Kampanye Nugini
(1942-1945) adalah salah satu kampanye militer besar pada Perang Dunia II. Hampir 216.000 tentara darat-laut-udara Jepang,
Australia, dan Amerika tewas selama Kampanye Nugini. Dua teritori dipadukan
menjadi Teritori Papua dan Nugini setelah Perang Dunia II, yang kemudian
disederhanakan menjadi "Papua Nugini". Administrasi
Papua menjadi terbuka bagi penglihatan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi,
kelembagaan tertentu terus saja berlaku hanya di satu dari dua wilayah, masalah
cukup rumit kini berlangsung, yakni penyesuaian bekas perbatasan antara
provinsi yang saling berbatasan langsung, sehubungan dengan akses jalan dan
kelompok bahasa, sehingga undang-undang tersebut berlaku hanya pada satu sisi
dari suatu batas yang tidak lagi ada.
Kemerdekaan tanpa
peperangan dari Australia, kekuatan metropolitan de facto, muncul pada 16
September 1975, dan tetap bertalian dekat (Australia masih menjadi penyumbang
bantuan dwipihak terbesar bagi Papua Nugini).
Papua Nugini di Masa Kontemporer Politik
Papua Nugini adalah
anggota Negara-Negara Persemakmuran, dan Ratu Elizabeth II adalah kepala
negaranya. Sudah diharapkan oleh konvensi konstitusional, yang menyiapkan
rancangan konstitusi, dan oleh Australia, bahwa Papua Nugini akan memilih untuk
tidak mempertahankan hubungan dengan monarki Inggris. Bagaimanapun, para
pendirinya menganggap bahwa kaum terhormat kerajaan menganggap bahwa negara
yang baru merdeka tidak akan mampu berbicara dengan murni melalui sistem
kerajaan pribumi - sehingga sistem monarki Inggris dipertahankan. Sang Ratu
diwakili oleh Gubernur Jenderal Papua Nugini, saat ini Paulias Matane. Papua
Nugini dan Kepulauan Solomon adalah dua entitas negara yang tidak biasa di
antara Negara-Negara Persemakmuran, yakni bahwa Gubernur Jenderal secara
efektif dipilih oleh badan legislatif bukan oleh cabang eksekutif, seperti di
beberapa negara demokrasi parlementer.
Ekonomi
Ekonomi
Papua Nugini kaya akan sumber daya alam, tetapi eksploitasinya terkendala oleh rupa buminya yang rumit, tingginya biaya pembangunan infrastruktur, persoalan perundang-undangan yang serius, dan sistem status pertanahan yang membuat upaya pengenalan pemilik tanah untuk tujuan negosiasi perjanjian terhadapnya tetap saja menyisakan masalah. Pertanian memberikan penghidupan yang penting bagi 85% penduduk. Cadangan mineral, meliputi minyak bumi, tembaga, dan emas, menyumbangkan 72% perolehan ekspor. Negara ini juga memiliki industri kopi yang cukup bernilai.
Mantan
Perdana Menteri Sir Mekere Morauta berupaya untuk meletakkan kembali kesatuan
perlembagaan negara, memantapkan mata uang kina, meletakkan kembali kemantapan
anggaran nasional, memprivatisasi perusahaan-perusahaan umum yang dirasa cocok,
dan memastikan kelestarian perdamaian Bougainville setelah tercapainya
perjanjian 1997 yang mengakhiri ketegangan kaum separatis Bougainville.
Pemerintah Morauta mencapai kejayaan ketika menarik dukungan internasional,
khususnya mendapat dukungan dari IMF dan Bank Dunia demi mengamankan pinjaman
bantuan pembangunan. Tantangan yang cukup hebat dihadapi oleh Perdana Menteri
Sir Michael Somare, termasuk upaya memperkuat kepercayaan penanam modal,
melanjutkan upaya privatisasi aset-aset pemerintah, dan memelihara dukungan
dari anggota Parlemen.
Pada
Maret 2006, Komisi PBB untuk Kebijakan Pembangunan menyeru agar status Papua
Nugini sebagai negara berkembang diturunkan menjadi negara terbelakang karena
kemandekan sosial dan ekonomi yang mulur. Tetapi, sebuah penilaian yang
dilakukan IMF pada penghujung 2008 menemukan bahwa "paduan antara
kebijakan moneter dan fiskal yang tepat, dan tingginya harga ekspor barang
tambang dunia, telah mendukung mengambangnya pertumbuhan ekonomi dan
memantapnya ekonomi makro terbaru Papua Nugini. Pertumbuhan PDB sejati, pada
lebih dari 6% di tahun 2007, berlandasan luas dan diharapkan terus menguat pada
2008."
Kesehatan
Kesehatan
Pada tahun 2004,
pengeluaran publik senilai 3% dari PDB, sedangkan pengeluaran swasta senilai
0,6% dari PDB.[20] Papua Nugini memiliki insiden HIV dan AIDS tertinggi di
kawasan Pasifik dan merupakan negara keempat di Asia Pasifik yang memenuhi
kriteria wabah HIV/AIDS yang diperumum.[21] Rendahnya kepedulian terhadap
HIV/AIDS adalah masalah pokok, khususnya di pedesaan. Pada awal dasawarsa
2000-an, hanya ada 5 dokter per 100.000 penduduk
Pendidikan
Masih
banyak penduduk di negara ini yang belum melek aksara.[20] Particularly women
are affected. Ada banyak lembaga pendidikan di negara ini yang dikelola oleh
gereja. Ini termasuk 500 sekolah Gereja Luther Injili Papua Nugini. Papua
Nugini punya enam universitas yang terpisah dari lembaga-lembaga pendidikan
tersier lainnya. Dua universitas yang didirikan adalah Universitas Papua Nugini
yang berbasis di Distrik Ibukota Nasional,[27] dan Universitas Teknologi Papua
Nugini yang berbasis di luar Lae, di Provinsi Morobe.
Empat
universitas lainnya yang dulunya disebut college, didirikan baru-baru ini
setelah memperoleh pengakuan pemerintah. Universitas tersebut adalah
Universitas Goroka di Provinsi Pegunungan Timur, Universitas Firman Tuhan
(dijalankan oleh Gereja Katolik) di Provinsi Madang, Universitas Pertanian
Vudal di Provinsi Britania Baru Timur, dan Universitas Advent Pasifik
(dijalankan oleh Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh) di Distrik Ibukota Nasional.
Hubungan Papua Nugini dengan Indonesia
Hubungan antara Indonesia dengan Papua New Guinea (PNG) sangat dekat dan erat. Sejak hubungan diplomatik kedua negara
dibuka pada 1975, PNG secara konsisten mendukung integritas Indonesia. Sebaliknya,
Indonesia pun mendukung integritas
wilayah PNG. Secara geografis, kedua negara berbatasan darat secara langsung.
PNG yang terletak di sebelah Timur wilayah Papua, Indonesia, memiliki kesamaan
ras dengan masyarakat Papua di Indonesia, yaitu ras Melanesia. Dalam rangka
mempererat hubungan kedua negara, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
melakukan kunjungan kenegaraan ke PNG, pada 11-12 Maret 2010 yang didampingi
antara lain: Menko Polkam, Menko Perekonomian, Menlu RI, Menteri Pertanian,
Menteri Perdagangan, Sekretaris Kabinet, serta 2 orang Gubernur Papua dan Papua
Barat. Sedangkan Pemerintah PNG diwakili PM Michael Somare dan beberapa menteri
kabinet antara lain, Menlu Sam Abal; Menteri Keamanan Dalam Negeri, Sani Rambi;
Menteri Pertahanan, Bob Dadae; Menteri Hubungan Antar Pemerintah, Job Pomat dan
Menteri Perminyakan dan Energi, William Duma. Dalam
kesempatan tersebut, Presiden SBY menerima tanda penghormatan dari pemerintah
PNG berupa “Grand Companion of the Order of `Logohu”, atas jasa dalam peningkatan
hubungan dengan PNG.
Kedekatan yang telah
lama terjalin tersebut, rawan perselisihan, karena adanya Gerakan Separatis
Papua (GSP) dan pendukungnya di PNG, yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dari
Indonesia. Perjuangan tersebut ternyata mendapat penolakan dari berbagai pihak.
Bahkan tokoh Papua yang terpenting, sekaligus founder OPM, Nicolaas Jouwe,
telah menyatakan berhenti dari perjuangan yang selama ini dilakukannya, dan
mengharapkan pengikutnya kembali ke Papua dan mulai membangun Papua dalam
kerangka NKRI. Menurutnya, bentuk perjuangan yang kini dilakukan seharusnya
adalah membangun pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, ekonomi, sosial-budaya
melalui semangat Otonomi Khusus (Otsus).
Rangkaian kunjungan 2 hari Presiden SBY dengan PM Michael Somare telah dirumuskan dalam kesepakatan perjanjian, antara lain kerjasama pembangunan ekonomi, investasi, dan perdagangan. Indonesia dan PNG juga menjalin kerjasama yang baik dalam meningkatkan pembangunan di wilayah perbatasan. Kedua negara sepakat untuk membuka secara resmi lintas batas Skouw-Wutung yang dapat meningkatkan people to people contact, meningkatkan perdagangan kedua negara, dan dapat meningkatkan taraf sosial-ekonomi dan penduduk yang tinggal di daerah perbatasan. Penandatanganan perjanjian yang dilakukan oleh para menteri terkait dari kedua negara, antara lain: Defence Cooperation Agreement (DCA), Double Taxation Agreement (DTA), Letters of Exchange on Agriculture. Selain itu, Presiden RI juga menanda-tangani prasasti yang akan dipasang di salah satu pos perbatasan RI-PNG (Skouw-Wutung) untuk menandai soft-opening perbatasan RI-PNG yang sudah tertunda selama 2 tahun.
Rangkaian kunjungan 2 hari Presiden SBY dengan PM Michael Somare telah dirumuskan dalam kesepakatan perjanjian, antara lain kerjasama pembangunan ekonomi, investasi, dan perdagangan. Indonesia dan PNG juga menjalin kerjasama yang baik dalam meningkatkan pembangunan di wilayah perbatasan. Kedua negara sepakat untuk membuka secara resmi lintas batas Skouw-Wutung yang dapat meningkatkan people to people contact, meningkatkan perdagangan kedua negara, dan dapat meningkatkan taraf sosial-ekonomi dan penduduk yang tinggal di daerah perbatasan. Penandatanganan perjanjian yang dilakukan oleh para menteri terkait dari kedua negara, antara lain: Defence Cooperation Agreement (DCA), Double Taxation Agreement (DTA), Letters of Exchange on Agriculture. Selain itu, Presiden RI juga menanda-tangani prasasti yang akan dipasang di salah satu pos perbatasan RI-PNG (Skouw-Wutung) untuk menandai soft-opening perbatasan RI-PNG yang sudah tertunda selama 2 tahun.
Mencermati hubungan
dan komitmen RI-PNG untuk tidak mencampuri kedaulatan masing-masing pihak, maka
segala bentuk kerikil dalam hubungan akan dapat dibatasi, seperti permasalahan
di perbatasan dan Gerakan Separatis. Diharapkan dengan peningkatan kerjasama,
maka harmonisasi hubungan dapat dipertahankan.
terimakasih informasinya jadi nambah pengetahuan saya
ReplyDeletetourjogja