JEJAK BANGSAWAN BUGIS DI KALIMANTAN SELATAN
Kerajaan Pagatan di Pagatan Kalimantan Selatan awalnya dibangun oleh orang-orang Bugis Wajo dari Sulawesi Selatan, diawali dengan terjadinya perang saudara di Sulawesi pada sekitar tahun 1670 yaitu ketika Arung Palaka, raja Bone menyerbu Wajo atas alasan balas dendam ketika ia berperang dengan Gowa (ketika itu Raja Wajo ikut membantu Kerajaan Gowa yang masih ayah dan anak saat terjadi konflik dengan Kerajaan Bone). Dalam situasi itu Raja Bone Arung Palaka menyingkir ke Buton kemudian ke Batavia minta bantuan Belanda.
Adanya dukungan Belanda di pihak Raja Bone sudah berhasil mengalahkan Kerajaan Wajo, hingga akhirnya orang Bugis Wajo mengungsi terpencar ke berbagai daerah. Ada yang ke Makassar kemudian membangun Kampung Wajo di sana. Ada yang ke Sumbawa, Bima, Pasir, Banjarmasin, Kutai dan Donggala. Setiap tempat yang ditinggali atau didiami orang-orang Bugis Wajo selalu mengangkat seorang pemimpin dan diberi gelar “MACOA” atau “MATOA”.
Di dalam satu tulisan karangan Dr. Eisenberger ada disebutkan, “ In 1750 Pagatan Word Gesticht Door Boeginezen”. Artinya pada tahun1750 Pagatan dibangun oleh orang Bugis. Menurut C. Nagtegaal, De voormalige Zelfbesture Noe En Gouvernements Landschappen In Zuid-Oost Borneo (Utrecht : N. V. A. Oosthoek’s Uitgevers-Maatschappij, 1939) dan Lontara Kapitan La Mattone (seorang Manteri Kerajaan Pagatan dan Kusan yang ditulis tanggal 21 Agustus 1868). “ Pedagang Bugis dari Wajo Sulawesi Selatan datang/tiba di Pagatan pada pertengahan abad ke 18 yang dipimpin oleh Puanna Dekke”.
Berdasarkan dari catatan sejarah dalam Lontara, Puanna Dekke berlayar dari Sulawesi Selatan menuju Pasir mencari pemukiman. Setiba di Pasir Puanna Dekke merasa kurang berkenan, maka perjalanan diteruskan dengan menyusuri daerah Tanah Bumbu hingga akhirnya menjumpai sebuah muara sungai dan selanjutnya Puanna Dekke menyusuri alur sungai menyelidiki dengan teliti hingga bertemu beberapa orang masyarakat Banjar yang bekerja membersihkan rotan. Puanna Dekke menanyakan tentang nama daerah tersebut dan termasuk dalam wilayah kerajaan mana? Orang itu menjawab bahwa nama daerah ini adalah “ Pamagatan” (maksudnya tempat pembersihan dan pemotongan rotan) dan termasuk dalam wilayah Kerajaan Banjar.
Ketertarikan Puanna Dekke akan daerah ini membawa Puanna Dekke ke Ibukota Kerajaan Banjar, dipimpin Sultan Kuning bergelar Panembahan Batu yang tidak lain adalah Nataalam atau Panembahan Kaharuddin Halilullah. Ia menyampaikan maksud mohon izin menempati dan bermukim di daerah tersebut. Panembahan menanggapi, “Baiklah, kalau anda sanggup mengeluarkan biaya, karena daerah tersebut adalah hutan belantara dan pangkalan tempat persinggahan orang-orang jahat atau Bajak Laut (lanun). Puanna Dekke kembali bertanya, “Bagaimana nanti sekiranya kami telah mengeluarkan biaya?”, Panembahan menjawab, “Kalau anda telah mengeluarkan biaya sampai daerah tersebut menjadi kampung, maka anda wariskan kepada anak cucu anda, dan tidak ada yang dapat mengganggu-gugatnya, karena anda telah mengeluarkan biaya”. Kemudian dilakukan serah terima secara lisan antara Panembahan Batu dengan Puanna Dekke.
Sekembalinya Puanna Dekke, diperintahkannya menebas dan menebang hutan belantara untuk dijadikan perkampungan yang diberi nama “Pegattang” belakangan berubah menjadi Pagatan. Kemudian datang saudaranya dari Pontianak bernama Pua Janggo, Kakeknya Pua Ado La Pagala menggabungkan diri. Kedua bersaudara berunding dan sepakat untuk menjemput cucunya di Tanah Bugis.
Pua Janggo Bertolak ke Tanah Bugis menjemput cucunya bernama La Pangewa turunan anak Raja di Tanah Bugis (Daerah Kampiri/Wajo) untuk dibawa ke Pagatan. Setelah dikhitan dan dikawinkan, La Pangewa dinobatkan menjadi Raja Pagatan (Raja Pagatan I).
Pada masa itu, Pangeran Muhammad Aminullah Ratu Anum Bin Sultan Kuning atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Anom memblokade (mengganggu arus lalu lintas) Muara Banjarmasin yang menghalang-halangi dan menahan perahu-perahu pedagang yang masuk ke Banjarmasin. Puanna Dekke segera memerintahkan cucunya La Pangewa menemui Panembahan di Banjarmasin. Setiba di Banjarmasin, La Pangewa diberi tugas untuk menggempur Pangeran Anom hingga Pangeran Anom beserta pengikutnya mengundurkan diri ke Kuala Biyajo (Kuala Kapuas). Sedangkan La Pangewa masuk kembali ke Banjarmasin menemui Panembahan dan melaporkan hasil tugasnya. Atas keberhasilan La Pangewa diberi Gelar Kapiten Laut Pulo (Pulau Laut) oleh Panembahan. Tindakan ini semakin memperkokoh kedudukan La Pangewa atas tanah Pagatan yang diserahkan sepenuhnya oleh Panembahan.
Demikian Tanah Pagatan kokoh tidak tergugat ditempati turunan Raja-Raja Pagatan dan rakyatnya sampai masa sekarang ini .
Nama-nama Raja Yang Pernah Berkuasa di Pagatan
La Pangewa (Hasan) Kapiten Laut Pulau beristrikan I Walena ( Petta Coa )
La Palebi (Abdurrahman) 1830-1838
La Mattunru
La Mattunru (Abdul Karim) Beristrikan Petta Pele-engngi Bintana tahun 1855-1863
La Makkarau tahun 1863-1871
Abdul Jabar tahun 1871-1875
Ratu Senggeng (Daeng Mangkau) Menikah dengan Aji Semarang (Pangeran Muda Arif Billah) Raja Cantung turunan dari Raja Sampanahan (Tanah Bumbu) tahun 1875-1883
H. Andi Tangkung (Petta Ratu) dengan Daeng Mahmud (Pangeran Mangkubumi) tahun 1883-1893
Andi Sallo (Arung Abdul Rahim) 1893-1908
Masa Pemerintahan Kerajaan di Pagatan
Sistem Pemerintahan Kerajaan di Pagatan dihapuskan pada tanggal 1 Juli 1912 dengan Staatblads 1912 No. 312 oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, hal ini merupakan sebuah rangkain peristiwa yang diawali pada masa pemerintahan Sultan Adam di Kerajaan Banjar.
Pada tanggal 11 Juni 1860 Komisaris Pemerintahan Belanda yang membawahi Kerajaan Banjar. T.N. Nieuwenhiuzen. Memproklamasikan penghapusan Kerajaan Banjar, penghapusan Kerajaan Banjar menimbulkan gejolak perlawanan diberbagai kalangan masyarakat, baik dari kalangan Bangsawan maupun yang dipimpin oleh para Pemimpin Agama. Hal ini berlangsung hingga tahun 1905.
Dengan timbulnya gejolak lapisan masyarakat di kerajaan Banjar inilah yang memungkinkan beberapa Kerajaan kecil yang secara Formal Politis berada dibawah Yuridikasi Kerajaan Banjar masih tegak berdiri hingga pergantian abad XIX ke XX, dan staatblads 1903 No. 179 yang diberitahukan pada tanggal 1 Januari 1905, Kerajaan- Kerajaan kecil di wilayah Tanah Bumbu kecuali Kerajaan Pagatan. Kusan dan Pasir telah di hapuskan dan langsung masuk wilayah Pemerintahan Belanda, adapun mengenai Kerajaan Pagatan dan Kusan barulah dihapuskan sejak tanggal 1 Juli 1912 dengan Staatblads No. 312.01.
Bukti Peninggalan Sejarah Kerajaan di Pagatan
Makam para raja-raja di Desa Pasar Lama Kelurahan, Kota Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu.
Sisa Bangunan Istana Raja (Soraja) di Kota Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Ka-bupaten Tanah Bumbu.
Beberapa buah stempel Kerajaan Pagatan (tersimpan di Museum Lambung Mangkurat, Banjarbaru).
Catatan sejarah berdirinya Kerajaan Pagatan (Lontara) oleh Kapiten La Mattone (Menteri Kerajaan Pagatan dan Kusan) di terjemahkan oleh Andi Usman dibantu M. Jabir Akil, dari bahasa Bugis ke-bahasa Indonesia. (sumber:bpskusanhilir/ Kalsel)
sumber : fokusbatulicin.com
Adanya dukungan Belanda di pihak Raja Bone sudah berhasil mengalahkan Kerajaan Wajo, hingga akhirnya orang Bugis Wajo mengungsi terpencar ke berbagai daerah. Ada yang ke Makassar kemudian membangun Kampung Wajo di sana. Ada yang ke Sumbawa, Bima, Pasir, Banjarmasin, Kutai dan Donggala. Setiap tempat yang ditinggali atau didiami orang-orang Bugis Wajo selalu mengangkat seorang pemimpin dan diberi gelar “MACOA” atau “MATOA”.
Di dalam satu tulisan karangan Dr. Eisenberger ada disebutkan, “ In 1750 Pagatan Word Gesticht Door Boeginezen”. Artinya pada tahun1750 Pagatan dibangun oleh orang Bugis. Menurut C. Nagtegaal, De voormalige Zelfbesture Noe En Gouvernements Landschappen In Zuid-Oost Borneo (Utrecht : N. V. A. Oosthoek’s Uitgevers-Maatschappij, 1939) dan Lontara Kapitan La Mattone (seorang Manteri Kerajaan Pagatan dan Kusan yang ditulis tanggal 21 Agustus 1868). “ Pedagang Bugis dari Wajo Sulawesi Selatan datang/tiba di Pagatan pada pertengahan abad ke 18 yang dipimpin oleh Puanna Dekke”.
Berdasarkan dari catatan sejarah dalam Lontara, Puanna Dekke berlayar dari Sulawesi Selatan menuju Pasir mencari pemukiman. Setiba di Pasir Puanna Dekke merasa kurang berkenan, maka perjalanan diteruskan dengan menyusuri daerah Tanah Bumbu hingga akhirnya menjumpai sebuah muara sungai dan selanjutnya Puanna Dekke menyusuri alur sungai menyelidiki dengan teliti hingga bertemu beberapa orang masyarakat Banjar yang bekerja membersihkan rotan. Puanna Dekke menanyakan tentang nama daerah tersebut dan termasuk dalam wilayah kerajaan mana? Orang itu menjawab bahwa nama daerah ini adalah “ Pamagatan” (maksudnya tempat pembersihan dan pemotongan rotan) dan termasuk dalam wilayah Kerajaan Banjar.
Ketertarikan Puanna Dekke akan daerah ini membawa Puanna Dekke ke Ibukota Kerajaan Banjar, dipimpin Sultan Kuning bergelar Panembahan Batu yang tidak lain adalah Nataalam atau Panembahan Kaharuddin Halilullah. Ia menyampaikan maksud mohon izin menempati dan bermukim di daerah tersebut. Panembahan menanggapi, “Baiklah, kalau anda sanggup mengeluarkan biaya, karena daerah tersebut adalah hutan belantara dan pangkalan tempat persinggahan orang-orang jahat atau Bajak Laut (lanun). Puanna Dekke kembali bertanya, “Bagaimana nanti sekiranya kami telah mengeluarkan biaya?”, Panembahan menjawab, “Kalau anda telah mengeluarkan biaya sampai daerah tersebut menjadi kampung, maka anda wariskan kepada anak cucu anda, dan tidak ada yang dapat mengganggu-gugatnya, karena anda telah mengeluarkan biaya”. Kemudian dilakukan serah terima secara lisan antara Panembahan Batu dengan Puanna Dekke.
Sekembalinya Puanna Dekke, diperintahkannya menebas dan menebang hutan belantara untuk dijadikan perkampungan yang diberi nama “Pegattang” belakangan berubah menjadi Pagatan. Kemudian datang saudaranya dari Pontianak bernama Pua Janggo, Kakeknya Pua Ado La Pagala menggabungkan diri. Kedua bersaudara berunding dan sepakat untuk menjemput cucunya di Tanah Bugis.
Pua Janggo Bertolak ke Tanah Bugis menjemput cucunya bernama La Pangewa turunan anak Raja di Tanah Bugis (Daerah Kampiri/Wajo) untuk dibawa ke Pagatan. Setelah dikhitan dan dikawinkan, La Pangewa dinobatkan menjadi Raja Pagatan (Raja Pagatan I).
Pada masa itu, Pangeran Muhammad Aminullah Ratu Anum Bin Sultan Kuning atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Anom memblokade (mengganggu arus lalu lintas) Muara Banjarmasin yang menghalang-halangi dan menahan perahu-perahu pedagang yang masuk ke Banjarmasin. Puanna Dekke segera memerintahkan cucunya La Pangewa menemui Panembahan di Banjarmasin. Setiba di Banjarmasin, La Pangewa diberi tugas untuk menggempur Pangeran Anom hingga Pangeran Anom beserta pengikutnya mengundurkan diri ke Kuala Biyajo (Kuala Kapuas). Sedangkan La Pangewa masuk kembali ke Banjarmasin menemui Panembahan dan melaporkan hasil tugasnya. Atas keberhasilan La Pangewa diberi Gelar Kapiten Laut Pulo (Pulau Laut) oleh Panembahan. Tindakan ini semakin memperkokoh kedudukan La Pangewa atas tanah Pagatan yang diserahkan sepenuhnya oleh Panembahan.
Demikian Tanah Pagatan kokoh tidak tergugat ditempati turunan Raja-Raja Pagatan dan rakyatnya sampai masa sekarang ini .
Nama-nama Raja Yang Pernah Berkuasa di Pagatan
La Pangewa (Hasan) Kapiten Laut Pulau beristrikan I Walena ( Petta Coa )
La Palebi (Abdurrahman) 1830-1838
La Mattunru
La Mattunru (Abdul Karim) Beristrikan Petta Pele-engngi Bintana tahun 1855-1863
La Makkarau tahun 1863-1871
Abdul Jabar tahun 1871-1875
Ratu Senggeng (Daeng Mangkau) Menikah dengan Aji Semarang (Pangeran Muda Arif Billah) Raja Cantung turunan dari Raja Sampanahan (Tanah Bumbu) tahun 1875-1883
H. Andi Tangkung (Petta Ratu) dengan Daeng Mahmud (Pangeran Mangkubumi) tahun 1883-1893
Andi Sallo (Arung Abdul Rahim) 1893-1908
Masa Pemerintahan Kerajaan di Pagatan
Sistem Pemerintahan Kerajaan di Pagatan dihapuskan pada tanggal 1 Juli 1912 dengan Staatblads 1912 No. 312 oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, hal ini merupakan sebuah rangkain peristiwa yang diawali pada masa pemerintahan Sultan Adam di Kerajaan Banjar.
Pada tanggal 11 Juni 1860 Komisaris Pemerintahan Belanda yang membawahi Kerajaan Banjar. T.N. Nieuwenhiuzen. Memproklamasikan penghapusan Kerajaan Banjar, penghapusan Kerajaan Banjar menimbulkan gejolak perlawanan diberbagai kalangan masyarakat, baik dari kalangan Bangsawan maupun yang dipimpin oleh para Pemimpin Agama. Hal ini berlangsung hingga tahun 1905.
Dengan timbulnya gejolak lapisan masyarakat di kerajaan Banjar inilah yang memungkinkan beberapa Kerajaan kecil yang secara Formal Politis berada dibawah Yuridikasi Kerajaan Banjar masih tegak berdiri hingga pergantian abad XIX ke XX, dan staatblads 1903 No. 179 yang diberitahukan pada tanggal 1 Januari 1905, Kerajaan- Kerajaan kecil di wilayah Tanah Bumbu kecuali Kerajaan Pagatan. Kusan dan Pasir telah di hapuskan dan langsung masuk wilayah Pemerintahan Belanda, adapun mengenai Kerajaan Pagatan dan Kusan barulah dihapuskan sejak tanggal 1 Juli 1912 dengan Staatblads No. 312.01.
Bukti Peninggalan Sejarah Kerajaan di Pagatan
Makam para raja-raja di Desa Pasar Lama Kelurahan, Kota Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu.
Sisa Bangunan Istana Raja (Soraja) di Kota Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Ka-bupaten Tanah Bumbu.
Beberapa buah stempel Kerajaan Pagatan (tersimpan di Museum Lambung Mangkurat, Banjarbaru).
Catatan sejarah berdirinya Kerajaan Pagatan (Lontara) oleh Kapiten La Mattone (Menteri Kerajaan Pagatan dan Kusan) di terjemahkan oleh Andi Usman dibantu M. Jabir Akil, dari bahasa Bugis ke-bahasa Indonesia. (sumber:bpskusanhilir/ Kalsel)
sumber : fokusbatulicin.com
Comments
Post a Comment