MENENGOK JEJAK BUGIS DI TANO NIHA
Oleh Kamaruddin Azis
Kekaguman dan gairah mencari informasi tentang jejak Bugis ini terjawab juga dengan banyaknya nama-nama warga Nias yang berfam Bugis. Beberapa nama seperti Amiruddin Bugis, Mirwan Bugis dan sebagainya. Mereka menggunakan fam Bugis mengikuti jejak warga lokal yang menggunakan nama Zebua, Sarumaha, Zega, Gee, Zai, dan sebagainya.
Ketika saya bertanya pada beberapa warga Gunung Sitoli, desa yang banyak dijumpai fam Bugis, mereka menyebut desa Fowa di sekitar wilayah ibukota Gunung Sitoli, Kabupaten Nias.
Menyebut pulau Nias tentu yang pertama terbayang adalah tradisi loncat batu dan bencana gempa yang dahsyat itu. Dua hal ini adalah yang mengemuka atau bisa jadi kening kita akan mengkerut pertanda awamnya kita tentang pulau Nias. Tapi tahukah kita bahwa tentang daerah ini pada beberapa forum diskusi terjadi debat dan diskusi sengit tentang asal usul suku Nias (termasuk di internet) yang melibatkan praktisi, budayawan dan LSM seperti di Leiden, Jakarta, Medan dan di Nias sendiri. Salah satu elemen pokoknya adalah pengaruh suku dari timur atau Bugis?
Pulau Nias atau Tano Niha terdiri dari 132 pulau besar dan kecil. Membayangkan pulau Nias persis membayangkan luas pulau Selayar dua kali lipat, dengan pulau-pulau di sekitarnya seperti pulau Bonerate dan Jampea.
Membaca buku “Asal Usul Masyarakat Nias – Suatu Interpretasi” karangan Pater Johannes Maria Hammerle, kita semakin menemukan hubungan dan pertalian budaya yang begitu kuat walau pada beberapa aspek masih perlu dipertajam dan diriset lebih dalam. Bersama Aceh, Melayu Sumatera, dan Batak, bangsa Bugis telah menjadi tulang punggung sosial dan pewarna budaya Nias jauh sebelum awal abad ke-20. Dari catatan riset etnologis-antropologis tentang Nias, terungkap bahwa komunitas ini telah berumur lebih 100 tahun. Tetapi sejak seratus tahun pula tidak banyak lagi yang terjadi. Dan dari sinilah Pater Johannes Hämmerle ikut meramaikan dunia penelitian etnologis-antropologis tentang Nias dengan publikasi yang patut mendapat pujian.
Catatan Peneliti
Pada tulisan ini saya mengutip beberapa catatan peneliti Belanda Pater Johannes Maria Hammerle, yang menunjukkan bahwa asal usul suku Nias sangat dipengaruhi oleh suku dari luar. Dia mencoba menelusuri cerita atau asumsi bahwa Bugis sangat berperan. Disebutkan bahwa pelaut Bugis adalah pelaut yang tangguh dan ditemukan hampir di seluruh wilayah tanah air.
Menurut dia, adalah pulau Hinako yang sering dianggap sebagai daerah Bugis lama. Pulau Hinako berada di seberang kota Sirombu di Nias Barat atau Nias selatan bagian barat. Kepulauan Hinako terdiri dari 8 pulau dimana sebagian besar warganya adalah keturunan Bugis. Merekadatang ke Nias sekitar abad ke-17 atau sekitar 13 generasi lalu. Ceritanya, mereka yang datang itu adalah tiga bersaudara. Anak pertama kelak tinggal di pulau Hinako, anak kedua tinggal di Sinabang, pulau Simeulue (Aceh) dan anak ketiga tinggal di pulau Batu (Tello Nias Selatan).
“Orang Bugis yang tinggal di Hinako kerap diserang oleh orang Aceh bahkan nyaris dihabisi. Orang Bugis ini mempunyai marga Maru Ao, Maru Hawa, Maru Abaya, Maru Ndruri, Maru Lafao, dan Bulu ‘Aro dan lain lain”
Selain itu terdapat juga versi tentang Bugis di Nias Selatan. Mereka disebut menjelma menjadi suku Bekhua atau suku raksasa. Terdapat 90 orang raksana bekhua (Bugis) yang disebut Laowo Maru. Bekhua ini diserang dan terbunuh. Tersisa satu orang yang melarikan diri dan sampai di Hinako.
Sementara missionaris Steinhart yang berkarya di kepualau Batu dari tahun 1924 sampai 1939 memberitahukan bahwa di kepulauan Batu, orang-orang Bekhua dihormati sebagai pemilik tanah atau penghuni asli. Leluhur mereka disebut Maru. Sewaktu Steinhart masih berada di kepulauan Batu, ditemukan penduduk yang sanggup mengucapkan beberapa rumusan bahasa mereka, li bekhua. Tetapi tidak tahu lagi mengartikannya.
Bahasa daerah orang Bugis di Hinako menurut beberapa orang masih digunakan pada abad ke-19. Tetapi pada abad ke-20 orang Bugis di Hinako mulai menggunakan bahasa Nias. Analisis ini diperkuat oleh buku tulisan Tuanko Rao, bahwa sudah ditemukan masyarakat campuran di wilayah pelabuhan Singkuang, pantai barat Sumatera pada tahun 1416, termasuk adanya komunitas Bugis dari Sulawesi.
Leluhur yang datang ke pulau Hinako selalu menggunakan nama Maru, padahal hanya satu marga yang datang tersebut dari Maros atau Maru, demikian Pater Johannes menulis dalam bukunya yang kontroversial tersebut. Pater juga menyebut bahwa tradisi lisan pada abad ke-20 tidak terjamin lagi dan dengan cepat menghilang. Hal ini terbukti di Hinako dimana tradisi lisan itu hampir punah.
Mendukung informasi tersebut, menurut catatan arsip KJTLV di kota Leiden, Belanda, keturunan Bugis di Hinako dikenal sebagai raja Kelapa. Informasi ini diperoleh pada tahun 1980 yang menyebut marga Maru yang mendiami Hinako terdapat 5 marga. Diperkirakan bahwa awal kedatangan to-Maru adalah pada tahun 1675. Ini setelah memperhatikan catatan-catatan dari Leiden tersebut.
Selain itu ada beberapa versi yang cukup mengejutkan, misalnya penggalian di gua Togi Ndrawa (menurut penelitian yang baru dilakukan di Heilberg, Jerman), atau gua Pelita, yang menunjukkan bahwa masyarakat sudah tinggal di sana sejak 7000 tahun yang lalu. Salah satunya adalah di daerah Hinako itu, dan di pulau-pulau Wesi Selatan telah ada selama 17-18 generasi yang lalu. Mereka disebut suku Maru yaitu suku asli orang Bugis di Nias. Para missionaris menyatakan bahwa bahasa mereka telah hilang kira-kira 100 tahun yang lalu. Kemudian orang Aceh datang ke Nias kira-kira 13-14 generasi yang lalu.
Cerita Versi Modern
Lain catatan peneliti lain pula cerita dari mulut ke mulut. Adalah nama kecamatan Lahewa di Nias Utara yang awalnya dibangun oleh pendatang Bugis yang konon bernama A.Gasiguro Bugis yang berdiam di Moawo pada sekitar awal 1900 yang kemudian mempunyai anak bernama Muhammad Ali Bugis (A. Gaviti Bugis) yang merintis pelabuhan Lahewa menjadi pelabuhan besar Lahewa. Beberapa daerah atau kampung, yang sepertinya dipengaruhi kata Bugis atau Makassar adalah Toyolawa dan Turelaya.
Belanda melakukan ekspedisi pertama kalinya di Nias tahun 1855, kemudian pada tahun 1863. Nias telah dikuasai Belanda tahun 1914 seiring dengan gelombang pendatang yang juga semakin besar. Sejak tahun ini di pulau itu, menurut cerita, datanglah pedagang dari tanah Sulawesi.
Sayang sekali ketika menjejak Nias Selatan, tepatnya pulau-pulau Batu, saya tidak sempat mengunjungi pulau Hinako. Pulau Hinako inilah yang disebut oleh Pater Johannes sebagai pulau pelarian Bugis yang selamat dari pertempuran. Namun di dekat pulau ini saya mengunjungi beberapa pulau yang oleh warga setempat disebutkan bahwa untuk pertama kalinya dihuni oleh orang Bugis. Namanya pulau Tello. Selain itu terdapat pula nama pulau seperti pulau Baluta, Asu, Wesi dan pulau Bogi. Nama-nama yang terkesan Bugis.
Dalam kajian lain pernah pula terungkap bahwa masyarakat Nias pernah menggeluti olahraga ma’raga (takraw). Ma’raga berasal dari kata Bugis, sedangkan orang Makassar, sering menyebut permainan ini dengan a’raga (olahraga). Ma’raga termasuk jenis permainan yang memadukan unsur olahraga dan seni. Permainan yang berasal dari Malaka ini, konon hanya dilakukan oleh para bangsawan Bugis saat diadakannya upacara-upacara resmi kerajaan seperti pelantikan raja dan perkawinan anggota kerajaan.
“Sepak raga di Nias disebut Fa Rago/Famai Rago (Bermain Rago/Berolahraga). Permainan rakyat ini di Nias sudah jarang dilaksanakan atau tidak pernah terlihat lagi”
Terdapat juga hikayat tentang datangnya penganjur Islam, sekitar tahun 1215 H atau 1794 M di bawah pimpinan Haji Daeng Hafiz yang tinggal dan menetap di Gunungsitoli. Dalam pandangan penulis, Bugis telah menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan nusantara. Mereka meninggalkan jejak di Simeuleu, Singkil, Nias, dan beberapa daerah kunci di Sumatera. Ini berarti bahwa mobilitas yang tinggi dan pantang mundur itu dari dulu sudah terpatri. Tentu saja hal tersebut menyimpan sebuah misi.
Terlepas dari benar tidaknya cerita tersebut di atas, paling tidak terdapat pengakuan dan sisa-sisa tulisan dan diakui di tengah masyarakat setempat, seperti masih adanya nama fam Bugis tersebut. Terdapat fam Bugis yang tidak bisa berbahasa Bugis lagi.
Kita akan semakin yakin bahwa Bugis (yang kerap dipadankan sebagai Bugis-Makassar) pada masa lalu memegang peranan penting dan menjadi patron bagi perkembangan wilayah di tanah air. Gambaran di atas adalah khasanah atau kekayaan sejarah nasional. Karenanya, dibutuhkan upaya yang lebih mendalam untuk mencari informasi berserak yang dapat menjadi gagasan komunal tentang revitalisasi daya jelajah dan daya juang masyarakat di nusantara.
Sumber : http://www.denun.net
Comments
Post a Comment